Lereng kerucut gunung api komposit yang semakin terjal ke arah puncak atau semakin landai ke arah kaki disebabkan oleh proses penumpukan bahan erupsi gunung api itu sendiri. Semakin jauh dari sumber erupsi atau kawah tumpukan bahan erupsi semakin tipis sehingga membentuk lereng yang semakin landai. Konsekuensinya, bahan piroklastika yang jatuh bebas akan mengendap mengikuti topografi sebelumnya yang sudah miring. Perlapisan endapan jatuhan piroklastika membentuk jurus secara umum berpola konsentris, sedangkan kemiringannya semakin landai dari fasies proksimal ke arah fasies distal. Pengamatan di lereng atas dan puncak gunung api masa kini, seperti Gunung Merapi di Jawa Tengah dan Gunung Bromo di Jawa Timur, memperlihatkan bahwa kemiringan awal dapat mencapai 35 derajat. Di Gunung Suroloyo, yang merupakan bagian lereng selatan gunung api purba di fasies distal. Perlapisan batuan gunung api itu mempunyai jurus berpola konsentris mengelilingi fasies pusat gunung api.
Pada saat bergerak ke permukaan, magma mendorong batuan di atas dan di sampingnya sehingga terjadi pengungkitan (tilting). Pengungkitan terbesar terdapat pada daerah puncak/kawah dan lereng atas, kemudian nilainya menurun ke arah lereng bawah dan kaki. Penggembungan lereng gunung api sebagai akibat daya dorong magma ke atas itu disebut inflasi. Sebaliknya, apabila magma mendingin atau membeku sehingga volumenya mengecil, atau magma bergerak kembali ke bawah sehingga lereng gunung api mengkerut, maka deformasi batuan gunung api ini disebut defl asi. Pada saat terjadi inflasi ukuran lingkaran kawah dipaksa membesar dan karena tersusun oleh batuan yang getas maka bibir kawah mengalami pecah-pecah membentuk rekahan berpola radier. Berhubung gerak magma dan erupsi gunung api terjadi berulang-ulang, maka proses inflasi-defl asi juga terjadi berkali-kali. Karena efek gaya berat dan keragaman sifat fi sik batuan, rekahan radier itu dapat berkembang menjadi sesar normal di daerah puncak dan lereng atas.
Selanjutnya karena kombinasi efek gravitasi dan topografi lereng, blok-blok sesar turun di daerah puncak dan lereng atas dapat melengser membentuk sesar miring (turun-geser) pada lereng bawah. Sementara itu di daerah kaki, efek daya dorong sebagai akibat pelengseran massa batuan yang berasal dari puncak dan lereng jauh lebih kuat dari gaya gravitasi sehingga terbentuk sesar geser. Akhirnya di daerah dataran, daya dorong pelengseran menimbulkan gaya lateral sehingga dapat mengakibatkan terbentuknya sesar naik dan struktur perlipatan yang berpola konsentris mengelilingi kerucut gunung api (Bronto drr., 2004a).
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa pada fasies pusat dan fasies proksimal struktur geologi yang berkembang adalah sesar normal berpola radier, di fasies medial terbentuk sesar miring sampai sesar geser yang juga berpola radier. Sementara itu di fasies distal dapat terjadi sesar naik dan struktur perlipatan yang berpola konsentris. Pola struktur geologi yang diperkirakan sebagai akibat proses magmatisme dan volkanisme dapat dicontohkan terjadi di daerah Gunung Ijo, Pegunungan Kulonprogo (Rahardjo drr., 1977) dan kaki utara-timur Gunung Slamet (Djuri drr., 1996).
Referensi : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar