Batuan sediment memang sangat menarik untuk dibahas. Selain bentuknya yang unik dan beragam serta jumlahnya yang melimpah di muka bumi (hampir 75% bagian kerak bumi terdiri atas batuan sedimen), proses proses yang terjadi juga sangatlah menarik untuk dibahas. Salah satu proses yang menarik adalah bagaimana sedimen sebagai penyusun batuan sedimen dapat terangkut dan diendapkan menjadi batuan sedimen. Pengklasifikasian batuan sedimen pada umumnya hanya membagi 2 kelompok besarnya saja yaitu batuan sedimen silisiklastik dan batuan sedimen karbonat. Padahal di lapangan sering juga dijumpai batuan sedimen yang mencirikan kedua batuan tersebut (mix siliciclastic sediment). Ada hal yang menarik dari keberadaan material campuran ini, dikarenakan keberadaan batuan sedimen karbonat terbatas pada lingkungan pengendapan tertentu, sementara proses pengendapan material silisiklastik ditinjau dari teksturnya menunjukkan karakteristik hidrodinamika tertentu.
Perpaduan keduanya memberikan kemungkinan interpretasi pembentukan pada lingkungan khusus dengan proses sedimentasi tertentu. Selama ini kebanyakan penulis lebih menekankan kepada penelitian salah satu aspek batuan (Zuffa, 1980) memberikan ilustrasi bahwa kebanyakan analisa yang dilakukan terhadap percampuran arenit masih tergantung kepada siapa yang bekerja pada obyek tersebut. Ahli petrologi karbonat menyatakan bahwa butiran karbonat terbentuk intrabasinal, kehadiran partikel karbonat pada arenit karbonat dianggap sebagai suatu “kecelakaan yang tidak menguntungkan”. Sementara itu ahli non-karbonat menyatakan bahwa arenit adalah batuan terrigen (darat) dan tidak mempertimbangkan kehadiran butiran karbonat baik ekstrabasinal maupun intrabasinal. Ahli ini menyatakan bahwa arenit terbagi menjadi 2 bagian yaitu: batupasir (arenit dengan kerangka terigen non karbonat) dan kalkarenit (arenit dengan kerangka karbonat intrabasinal). Adanya pemisahan yang tegas ini seakan-akan menutup kemungkinan percampuran karbonat dan arenit atau silisiklastik lain dengan suatu asumsi yang mengabaikan bagaimana sebenarnya proses terjadinya percampuran tersebut. Umumnya klasifikasi bertujuan untuk mengetahui proses dan genesa serta asal usul batuan, klasifikasi Mount (1985) ini masih menitikberatkan kepada deskriptif batuan secara murni, sementara untuk mengetahui lebih jauh harus didukung penelitian yang lebih lanjut. Klasifikasi silisiklatik umumnya lebih menitikberatkan pada tekstur material penyusun untuk mempertimbangkan genesa, sementara itu batuan karbonat mempunyai proses pembentukan yang sangat berbeda dengan batuan silisiklastik. Adanya percampuran material antara keduanya menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya proses pembentukan batuan tersebut bisa terjadi. Sebenarnya keberadaan sedimen campuran ini telah banyak disinggung oleh penulis-penulis terdahulu, akan tetapi tidak menjadikan sebagai klasifikasi tersendiri di luar sedimen karbonat dan silisiklastik. Grabau (1904), Vide Tucker (1991) membuat klasifikasi batuan karbonat yang didasarkan pada ukuran butir menjadi kalsirudit (kebanyakan butiran > 2 mm), kalkarenit (kebanyakan butiran berukuran 2 mm sampai 60 μm) dan kalsilutit (kebanyakan butiran lebih kecil dari 60 μm). Klasifikasi ini secara implicit memungkinan tercampurnya butiran tidak saja dari karbonat namun juga dari silisiklastik sehingga klasifikasi yang dikenalkan Grabau ini lebih dikenal dengan klasifikasi untuk batugamping klastik. Sementara itu klasifikasi yang dikenalkan Folk (1962) vide Tucker (1991) didasarkan pada komposisi sedangkan klasifikasi Dunham (1962) memisahkan batugamping berdasarkan pada teksturnya.
Perpaduan keduanya memberikan kemungkinan interpretasi pembentukan pada lingkungan khusus dengan proses sedimentasi tertentu. Selama ini kebanyakan penulis lebih menekankan kepada penelitian salah satu aspek batuan (Zuffa, 1980) memberikan ilustrasi bahwa kebanyakan analisa yang dilakukan terhadap percampuran arenit masih tergantung kepada siapa yang bekerja pada obyek tersebut. Ahli petrologi karbonat menyatakan bahwa butiran karbonat terbentuk intrabasinal, kehadiran partikel karbonat pada arenit karbonat dianggap sebagai suatu “kecelakaan yang tidak menguntungkan”. Sementara itu ahli non-karbonat menyatakan bahwa arenit adalah batuan terrigen (darat) dan tidak mempertimbangkan kehadiran butiran karbonat baik ekstrabasinal maupun intrabasinal. Ahli ini menyatakan bahwa arenit terbagi menjadi 2 bagian yaitu: batupasir (arenit dengan kerangka terigen non karbonat) dan kalkarenit (arenit dengan kerangka karbonat intrabasinal). Adanya pemisahan yang tegas ini seakan-akan menutup kemungkinan percampuran karbonat dan arenit atau silisiklastik lain dengan suatu asumsi yang mengabaikan bagaimana sebenarnya proses terjadinya percampuran tersebut. Umumnya klasifikasi bertujuan untuk mengetahui proses dan genesa serta asal usul batuan, klasifikasi Mount (1985) ini masih menitikberatkan kepada deskriptif batuan secara murni, sementara untuk mengetahui lebih jauh harus didukung penelitian yang lebih lanjut. Klasifikasi silisiklatik umumnya lebih menitikberatkan pada tekstur material penyusun untuk mempertimbangkan genesa, sementara itu batuan karbonat mempunyai proses pembentukan yang sangat berbeda dengan batuan silisiklastik. Adanya percampuran material antara keduanya menimbulkan pertanyaan bagaimana sebenarnya proses pembentukan batuan tersebut bisa terjadi. Sebenarnya keberadaan sedimen campuran ini telah banyak disinggung oleh penulis-penulis terdahulu, akan tetapi tidak menjadikan sebagai klasifikasi tersendiri di luar sedimen karbonat dan silisiklastik. Grabau (1904), Vide Tucker (1991) membuat klasifikasi batuan karbonat yang didasarkan pada ukuran butir menjadi kalsirudit (kebanyakan butiran > 2 mm), kalkarenit (kebanyakan butiran berukuran 2 mm sampai 60 μm) dan kalsilutit (kebanyakan butiran lebih kecil dari 60 μm). Klasifikasi ini secara implicit memungkinan tercampurnya butiran tidak saja dari karbonat namun juga dari silisiklastik sehingga klasifikasi yang dikenalkan Grabau ini lebih dikenal dengan klasifikasi untuk batugamping klastik. Sementara itu klasifikasi yang dikenalkan Folk (1962) vide Tucker (1991) didasarkan pada komposisi sedangkan klasifikasi Dunham (1962) memisahkan batugamping berdasarkan pada teksturnya.
Kebanyakan batuan sedimen karbonat tidak tahan terhadap proses pelarutan sehingga mudah mengalami rekristalisasi yang menyulitkan interpretasinya. Wright (1992) menyebutkan bahwa tipe diagenesa ada yang bersifat menghilangkan dan ada yang tidak menghilangkan tekstur sebelumnya. Tipe yang bersifat menghilangkan ini termasuk batugamping dan dolomite yang kemas aslinya dipastikan telah hilang sehingga akan sulit untuk mengetahuinya. Walaupun sinyalemen Wright ini untuk klasifikasi murni batugamping, namun seperti kita ketahui bahwa yang menyebabkan hilangnya tekstur adalah proses diagenesa yang hampir pasti terjadi pada batugamping baik murni maupun campuran, sedangkan kemudahan diagenesa ini karena tingginya tingkat kelarutan dari kalsium karbonat. Dengan adanya pelarutan pada batuan sedimen campuran sangat dimungkinkan material karbonat yang berupa Kristal atau penambahan semen akan terjadi, hal ini tentu akan menambah kelimpahan material karbonat pada batuan sediment campuran. Pembicaraan mengenai diagenesa ini belum banyak disinggung pada klasifikasi sedimen karbonat murni seperti klasifikasi Folk (1962) atau Dunham (1962) maupun klasifikasi sedimen campuran Mount (1985). Klasifikasi Mount merupakan klasifikasi deskriptif. Menurutnya sedimen campuran memiliki 4 komponen, yaitu :
-Silisiklastik sand (kuarsa, feldspar dengan ukuran butir pasir).
- Mud, yaitu campuran silt dan clay.
- Allochem, batuan karbonat seperti pelloid, ooid dengan ukuran butir > 20 mikrometer.
- Lumpur karbonat / mikrit, berukuran < 20 mikrometer.
Menurut Mount (1984), ada 4 kemungkinan terjadinya proses percampuran batuan sedimen silisiklastik dengan batuan karbonat di lingkungan paparan (shelf), yaitu campuran sela (punctuated mixing), percampuran fasies (fasies mixing), percampuran in situ (in situ mixing), dan percampuran batuan induk (source mixing). Campuran sela terjadi karena adanya peristiwa arus badai secara sporadis dan besar yang mengendapkan suatu jenis batuan sedimen dari suatu lingkungan ke dalam lingkungan pengendapan batuan yang lain dalam jumlah yang cukup banyak, misalnya ada arus badai yang secara cepat memindahkan endapan silisiklastik dekat garis pantai menuju lingkungan yang lebih dalam tempat terbentuknya batuan karbonat. Proses ini dicirikan oleh adanya shell bed yang merupakan lapisan yang mebngandung intraklas-intraklas cangkang dalam jumlah yang melimpah.
Campuran fasies terjadi mengikuti hukum Walther, yaitu perubahan stratigrafi secara vertical akan dijumpai secara lateral. Bila secara lateral terjadi perubahan secara gradual dari batuan karbonat menjadi silisiklastik, maka secara vertical perubahan tersebut akan dijumpai juga. Percampuran yang terjadi pada batas-batas facies antara darat dan laut. Suatu kondisi fasies darat berangsur-angsur berubah menjadi fasies laut memungkinkan untuk terjadinya pencampuran silisiklastik dan karbonat.Campuran fasies ini sangat mungkin terjadi di daerah perbatasan terumbu depan (fore-reef), terumbu belakang (back-reef), dan lingkungan antar terumbu (inter-reef). Kemungkinan perubahan fasies terjadi juga di sayap paparan terumbu dimana dataran pantai dan silisiklastik dekat garis pantai saling menjari dengan karbonat subtidal yang lebih dalam, dan perubahan fasies di daerah gumuk pantai dengan dataran pasang surut (tidal flat) dimana karbonat menerima pasokan material silisiklastik dari eolian.
Campuran in situ banyak terjadi lingkungan paparan (shelf) silisiklastik yang secara menerus juga menghasilkan sedimen karbonat. Sedimen karbonat ini merupakan sedimen autochton dan paraautochton dari organism karbonatan. Campuran ini biasa terjadi di lingkungan semi pasang surut (subtidal) dimana kandungan lumpur dari darat cukup dominan. Sementara itu campuran batuan induk terjadi pada situasi yang sangat jarang terjadi di alam, yaitu bila terjadi pengangkatan batuan karbonat yang selanjutnya diangkut dan diendapkan pada lingkungan yang dominan batuan silisiklastik. Pada kenyataannya erosi dan pelarutan batuan karbonat jarang yang menghasilkan butiran, dan bila menghasilkan butiran biasanya langsung larut selama proses transportasi karena tingkat resistennya yang rendah. Jadi meskipun secara teoritis percampuran ini dapat terjadi, namun fakta yang didapatkan sangat jarang dijumpai.
Source mixing, proses percampuran ini terjadi karena adanya pengangkatan batuan ke permukaan sehingga batuan tersebut dapat tererosi. Hasil erosi batuan karbonat tersebut kemudian bercampur dengan material silisiklastik.Salah satu contoh batuan silisiklastik campuran berupa batupasir karbonatan di Washington
Referensi : Sangga Rima Roman Selia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar