Pada umur Kuarter hingga masa kini, bentang alam gunung api komposit sangat mudah diidentifi - kasi karena bentuknya berupa kerucut, di puncaknya terdapat kawah dan secara jelas dapat dipisahkan dengan bagian lereng, kaki, dan dataran di sekitarnya. Dari puncak ke arah kaki, sudut lereng semakin melandai untuk kemudian menjadi dataran di sekitar kerucut gunung api tersebut. Untuk pulau gunung api, bagian puncak dan lereng menyembul di atas muka air laut sedangkan kaki dan dataran berada di bawah muka laut (Gambar 3). Namun berdasarkan penelitian topografi bawah laut, tidak hanya kaki dan dataran di sekeliling pulau gunung api, tetapi juga kerucut gunung api bawah laut dapat diidentifi kasi. Aliran sungai pada kerucut gunung api di darat dan pulau gunung api mempunyai pola memancar dari daerah puncak ke kaki dan dataran di sekitarnya.
Apabila suatu kerucut gunung api di darat atau di atas muka air laut sudah tidak aktif lagi, maka proses geomorfologi yang dominan adalah pelapukan dan erosi, terutama di daerah puncak yang merupakan daerah imbulan tertinggi. Karena pengaruh litologi yang beragam di daerah puncak, ada yang keras dan ada yang lunak, relief daerah puncak menjadi sangat kasar, tersusun oleh bukit-bukit runcing di antara lembah-lembah sungai yang terjal dan dalam (Gam-bar 4). Sekalipun suatu kerucut gunung api sudah tererosi cukup lanjut, bagian lereng biasanya masih memperlihatkan pola sudut lereng yang melandai ke arah kaki dan berpasang-pasangan menghadap ke arah bekas puncak. Kemiringan lereng bukit yang menghadap ke daerah bekas puncak pada umumnya lebih terjal daripada kemiringan lereng yang menjauhi daerah puncak (Gambar 5). Dari citra landsat (Gambar 6 dan Tabel 1) secara utuh dapat diperlihatkan perbedaaan penampakan bentang alam kerucut gunung api muda dan yang sudah tererosi,baik pada tingkat dewasa maupun lanjut, mulai dari serta dataran (fasies distal).
Urut-urutan Nama Gunung Api di dalam Gambar di atas. Gunung api tersebut pada umumnya berumur Kuarter, kecuali G. Sanggabuwana-Jatiluhur (5-2 Ma; Soeria-Atmadja drr., 1994) dan Soreang (G. Selacau Paseban, 4 Ma; Sunardi dan Koesoemadinata, 1999)
Referensi : Jurnal Geologi Indonesia, Vol. 1 No. 2 Juni 2006: 59-71
Tidak ada komentar:
Posting Komentar